Saturday, 25 January 2014

Mengapa Prancis bisa mendunia????


          Prancis adalah salah satu Negara tujuan wisata paling popular di dunia. Ciri khasnya terutama terletak pada pariwisata yang menawarkan tema-tema wisata klasik. Budaya dan karakter bangsanya terbentuk oleh geografi, sejarah, serta pengaruh dari berbagai kelompok dalam dan luar negeri. Prancis, terutama Paris, juga telah menjadi suatu tempat yang penting sebagai pusat kebudayaan dan seni sejak abad ke-17. Dari akhir abad ke-19, Prancis juga telah memiliki peranan penting dalam perkembangan seni modern, film, fashion, dan makanan.
            Dengan berbagai bangunan dan monument indah yang bertebaran di penjuru Paris, ibu kota Prancis ini berhasil mengukuhkan diri sebagai salah satu kota yang paling indah dan paling banyak dikunjungi di Bumi. Disamping itu, ditambah dengan Menara Eiffelnya yang begitu klasik sekaligus mempesona, Prancis dengan Parisnya semakin menegaskan eksistensi dirinya sebagai permata Eropa. Kota ini menjadi destinasi wajib yang tidak boleh dilewatkan saat kita ke Eropa.



            Lalu, hal-hal apa saja yang sebenarnya membuat Paris dan Prancis menjadi begitu termasyhur di penjuru dunia?. Paris dan Prancis ini terhitung berhasil dalam pengembangan pariwisatanya. Pertama, Prancis memiliki kota-kota yang kaya akan warisan budaya dari masa klasik. Seluruh kota Paris dihiasi dengan berbagai gedung indah dan monument menakjubkan. Kedua, Prancis juga memiliki pemandangan alam khas Eropa yang sangat indah. Sudah lama foto-foto dari kawasan alam di Prancis yang menghiasi kartu pos dan wallpaper monitor. Mulai dari jajaran pegunungan bersalju, pantai yang indah di pesisir Mediterania, hingga panorama bukit, lembah, dan dataran rendah khas Pegunungan Alpen, semuanya serba indah dan menakjubkan. Prancis juga mampu menghadirkan paket wisata alam yang lengkap, mulai dari berenang, di pantai tropis hingga bermain ski di pegunungan bersalju.



        Ketiga, pemerintah Prancis pandai dalam mengelola aset-aset wisatanya. Bangsa Prancis adalah bangsa yang kreatif sekaligus bercita rasa tinggi. Mereka mampu menghasilkan bangunan-bangunan indah sekaligus juga pandai mengelolanya sebagai aset-aset wisata yang produktif. Lebih dari itu, mereka juga pandai mempromosikannya. Kota Paris diubah menjadi pusat mode dunia sementara anggur atau wine Prancis diolah sedemikian rupa sehingga harganya melangit dan terkenal diseluruh penjuru dunia. Belum lagi, soal makanan Prancis yang juga dikenal memiliki cita rasa yang tinggi.



Anggur Merah Prancis yang paling terkenal



Baguette Paris 

Macaroons Paris, Prancis 

        Keempat, Prancis memiliki system transportasi yang rapi dan tertata. Mereka telah membangun kereta kecepatan tinggi yang disebut TGV (Train a Grande Vitesse) sehingga memudahkan arus wisatawan yang hendak berkeliling Prancis. Selain itu, jalur darat di Prancis juga memiliki akses langsung ke kota-kota besar di Eropa yang menjadikan mudahnya akses transportasi untuk berwisata ke negeri Nan indah ini. Semua jaringan transportasi ini dibangun oleh pemerintah sebagai faktor pendukung wisata di negeri itu.



         Pesatnya perkembangan pariwisata di Prancis memang tidak bisa dilepaskan dari peran pemerintahnya yang begitu aktif dan kompeten dalam mengelola aset-aset yang mereka miliki. Salah satu contohnya adalah dalam hal penataan bangunan di Prancis. Pemerintah disana cenderung sangat sulit dalam memberikan izin untuk mendirikan bangunan ataupun menghancurkan bangunan yang sudah ada. Mereka hendak mempertahankan bangunan-bangunan yang sudah ada dan yang sudah berdiri sejak lama untuk menjaga keaslian struktur bangunan yang bercorak klasik.
            Contoh, pandainya Pemerintah Prancis dalam mengelola pariwisatanya tampak pada La Tour Eiffel (Menara Eiffel). Kenapa Menara Eiffel yang menjadi ikon kota Paris itu bisa popular diseluruh dunia? Yaahh, jawabannya adalah karena Pemerintah Prancis pandai dalam mempromosikannya. Eiffel sempat menjadi menara tertinggi di dunia saat menara besi itu dibangun. Tidak hanya berfungsi sebagai menara tinggi saja, pengunjung juga bisa naik ke atas dengan lift untuk menikmati panorama kota Paris yang luar biasa indah dari ketinggian.


La Tour Eiffel #J'adore, Eiffel 


            Menara Eiffel sendiri terdiri dari tiga tingkat, dimana pengunjung bisa naik melalui tangga dan kemudian lift menuju puncak menara. Tiket naik menuju puncak menara bisa dibeli di konter yang berada di bagian “pinggang” dari Menara Eiffel. Jujur saja, kalau dibandingkan dengan Tugu Monas (Monumen Nasional) di Jakarta, Menara Eiffel memang jauh lebih besar dan lebih tinggi. Namun, bukan itu intinya. Intinya adalah betapa pandainya Prancis dalam mencari celah-celah untuk semakin mempopulerkan menara kebanggaan mereka ini. Kita kelak mungkin juga bisa melakukan hal yang sama pada Monumen Nasional yang sebenarnya juga sangat unik tersebut.
            Selain Menara Eiffel, ikon lain yang juga wajib dikunjungi saat di Paris adalah Museum Louvre atau Le Musse De L’ouvre. Orang Prancis sangat gemar berkunjung ke museum. Inilah salah satu perbedaan antara bangsa kita dengan bangsa Eropa. Orang-orang Paris sangat menghargai (appreciate) museum- museum yang mereka miliki. Para pengunjung bisa betah berlama-lama didalam museum untuk mengagumi beragam artefak dan karya seni lambing kejayaan masa lampau. Orang-orang disana benar-benar menghargai betul nilai dari sejarah bangsanya. Baik orang tua maupun orang muda, semua sangat suka pergi ke museum.
Museum Louvre, Paris, Prancis


            Kondisi ini hampir terbalik 180 derajat dengan kondisi di negara kita. Rata-rata kita tidak terlalu mencintai museum dan jarang menjadikan museum sebagai objek kunjungan pertama. Bagi kebanyakan dari kita pergi ke museum itu sangat membosankan. Entahlah, mungkin karena kondisi museum kita yang begitu-begitu saja dan kurang terurus ataukah kita yang memang belum bisa menghargai sejarah dengan semestinya. Sungguh, permasalahan ini harus dicarikan solusinya jika kita tidak ingin bangsa kita, Indonesia kehilangan akar budayanya.
          Di Prancis, ada juga Gerbang Kemenangan atau Arc De Triomphe. Gerbang megah ini dibangun oleh Napoleon Bonaparte untuk mengenang perjuangan tentaranya. Di dekat bangunan Arc De Triompe ini, pengunjung juga bisa menyusuri jalan Champ D’ellysse yang sangat terkenal itu. Jalan ini dikelilingi oleh tanaman dan bangunan indah, sampai-sampai di Prancis ada ungkapan yang bunyinya “Champs Elysees est le plus belle avenue sur le monde”.

Arc De Triomphe


      Selain itu, titik-titik lain yang layak dikunjungi diantaranya sejumlah bangunan tua namun klasik. Bangunan tersebut adalah Sans Sacre (bangunan gereja tua yang sangat menawan). Gereja ini dibangun diatas bukit, dari sana kita juga bisa melihat pemandangan kota Paris dengan Menara Eiffelnya yang menjulang sangat indah (C’est Belle). Ada juga bangunan gereja Notre Dame yang tidak kalah terkenalnya dengan Menara Eiffel.
Sans Sacre

Notre Dame


           Bangunan ini memiliki halaman depan berbentuk membulat, dimana terdapat semacam Zero Ground (titik nolnya kota Paris). Saking terkenalnya tempat ini, wisatawan yang mengunjungi kota Paris kalau belum menginjak Zero Ground di depan Notre Dame. Ada juga yang berkeyakinan bahwa barang siapa yang pernah menginjakkan kakinya di titik nol itu, maka diyakini bahwa kelak akan kembali lagi ke Paris.

Zero Ground di depan Notre Dame.

Tuesday, 21 January 2014

Unipdu Adakan Pelantikan DPM dan BEM Universitas Masa Bhakti 2013-1014

Jombang –Unipdu adakan tiga rangkaian acara dalam Rangka Memperingati Maulid Nabi (Senin, 20/1/2014). Yang pertama adalah Pelantikan Pengurus Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) dan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Masa Bhakti 2013/2014; kedua, Unipdu Bersholawat dan Sarasehan; dan ketiga, Mensuritauladani Kepemimpinan Rasulullah Muhammad SAW.
Bertempat di Plaza Unipdu, acara pelantikan DPM dan BEM diselenggarakan secara meriah dengan dihadiri oleh Pengurus DPM dan BEM Demisioner, Jajaran Pengurus DPM dan BEM terlantik dan tamu undangan dari Presiden BEM STKIP dan BEM STIT UW. Selain mahasiswa, tampak hadir di tengah-tengah mahasiswa Ketua Yayasan Pesantren Tinggi Darul 'Ulum (Yapetidu) Drs.H.M.Zaimuddin W.As’ad, MS, didampingi oleh Rektor Unipdu, Prof.Dr.H.Ahmad Zahro, MA dan Wakil Rektor Bid. SDM, Keuangan & Umum, Dr.H.M.Zulfikar As’ad, MMR beserta jajaran pimpinan Fakultas dan Program Studi se-Unipdu.

Prosesi pelantikan ini diawali dengan penampilan UKM Banjari dan selanjutnya pembacaan surat keputusan Rektor Unipdu tentang pengangkatan pengurus DPM dan BEM Unipdu masa bhakti 2013/2014 oleh Kepala Biro Administrasi Kemahasiswaan (BAKm), Bakri Ilyas, S.Pd.I. Seperti diketahui beberapa waktu lalu telah diselenggarakan pemilihan umum (Pemilu) presiden dan wakil presiden BEM Unipdu secara demokratis. Luthfi Riadi (Fakultas Agama Islam) terpilih sebagai Presiden BEM Unipdu 2013/2014 dan Imam Syafiudin (Fakultas MIPA) terpilih sebagai Wakil Presiden BEM Unipdu2013/2014.

Dalam sambutannya, rektor Unipdu, Prof.Dr.H.Ahmad Zahro, MA, mengingatkan kepada para pengurus DPM dan BEM Universitas terlantik untuk meneladani sifat-sifat utama Nabi Muhammad SAW yaitu Shiddiq, Tabligh, Amanah dan Fathonah. Sedangkan, Drs.H.M.Zaimuddin W.As’ad, MS juga mengingatkan agar para pengurus memiliki kesabaran dan hati yang luas dengan diimbangi berpikir kreatif.

Prosesi dilanjutkan dengan Serah Terima Jabatan (Sertijab) dari Presiden BEM 2012/2013 kepada  Presiden BEM 2013/2014 dengan disaksikan oleh Ketua Yayasan Pesantren Tinggi Darul 'Ulum, Rektor Unipdu, Wakil Rektor Bid. SDM, Keuangan & Umum dan Kepala Biro Administrasi Kemahasiswaan.
Di akhir acara staf Biro Kemahasiswaan, Muh. Nur Khozin, S.Pd.I mengumumkan tiga mahasiswa berprestasi (MAWAPRES 2013) dan ORMAWA yang aktif dalam melakukan kegiatan di Unipdu. Mokhamad Dafid Andianto (prodi D3 Keperawatan) terpilih sebagai mahasiswa berprestasi yang pertama, selanjutnya disusul dengan Nur Kholishoh (Fakultas MIPA) terpilih sebagai mahasiswa berprestasi yang kedua dan yang terakhir mahasiswa berprestasi diraih oleh Ali Mujib (prodi D3 Bahasa Jepang). Selanjutnya, ORMAWA yang aktif diraih oleh Fakultas Ilmu Kesehatan. (Red. Efi.L, Sem. 5 S1 Sastra Inggris)

Saturday, 18 January 2014

The Analysis of “Ghosts”

·                               The Social Background

Ghosts was written during the autumn of 1881 and was published in December of the same year. As early as November 1880, when Ibsen was living in Rome, he was meditating on a new play to follow A Doll's House. When he went to Sorrento, in the summer of 1881, he was hard at work upon it. It was finished by the end of November 1881 and published in Copenhagen on 13 December. Its world stage première was on 20 May 1882 in Norwegian in Chicago.
Henrik’s “Ghosts” is a realist drama written in 19th century Norway. The social context of this time meant his play was seen as a radial piece and theaters often refused to play it. This is due to the boundaries of class and gender which are constantly challenged throughout this play, in both a historical and modern context. In respect to class, this is achieved primarily through the use of characterization and a fundamental theme of deceit, especially, the juxtaposition between different classes.
Mrs. Alving is a prime example of how the challenged boundaries can be easily related to modern times as euthanasia is a controversial modern issue. Mrs. Alving obsessed with keeping up her appearances. She tried to protect her late husband's reputation. Besides, she ruins the life of her husband's two children, Oswald and Regina.

                        Regina is a fundamental character used by Ibsen to challenge the gender boundaries of his authorial context. In 18th century Norway, women held a significantly lower position in the societal hierarchy. The influence of the conservative Lutheran Church meant that they were primarily the property of the husband, and motherhood was seen as the epitome of their existence

“Ghosts” Drama by Henrik Ibsen

STORY


The ghosts in Ibsen's great play are the recurring patterns of behaviour, the dead ideas, customs and orthodoxies (inherit). In “Ghosts”, there was a family consisted of three people among others Mr. Captain Alving, Mrs. Helene Alving, and Oswald Alving. It began from Mrs. Helene Alving lived with her maidservant, Regina in Norwegia’s countryside. She married her late husband, Mr. Captain Alving. Before, Mrs. Helene Alving married with Mr. Alving, she ever had a relationship with Pastor Manders and eventually she returned to Mr. Alving. At the age of seven, Oswald was sent by his mother to Paris, Prancis hopefully that he will never find the morality of his late father. Beside, his father was very famous man with a good reputation and ever appointed as treasurer, but he was also ever lived over like drunks.


After Mr. Alving died, Mrs. Helene Alving has established an orphan asylum (an orphanage) to memorialize her husband. At the time, Jakob Engstrand came to Mrs. Alving’s house to claim that Regina was his daughter from his relationship with Johanna. Jakob Engstrand was a carpenter with a deformed leg. He married Johanna. Beside, Johanna was cheating with Mr. Alving and Regina was the illegitimate daughter of Johanna and Mr. Alving. Otherwise, Regina resisted her father’s dubious affection, Jakob Engstrand and she was proud to work as maidservant in Mrs. Alving’s house.
Next day, Pastor Manders came in Mrs. Alving’s house. Pastor Manders was a local priest from the nearby town. He often lectures about morality and religion. He advised Mrs. Alving that she shouldn’t leave her husband and didn’t sent Oswald to abroad (Paris) an early age (At the age of seven). At the time, Oswald came. He had just returned from Paris. For several years, he didn’t go home. Mrs. Alving and Pastor Manders still spoken Oswald and his father. Pastor Manders reminded to Mr.Alving that why she let her son grew as his father and he blamed Mr. Alving because she left her husband. Mr. Alving said that her husband has made her and her son miserable so she transmit her son to go to Paris to rescue him from her husband’s hijinks. At the time, she also admitted Pastor Manders that Regina was love - the child of her husband and their former maid, Johanna. Like the dinner will begin, she heard screaming from the kitchen. Apparently, Oswald was made the progress of Regina.
After dinner, Pastor Manders and Mrs. Alving discussed this strange development. He realized that Oswald was furious to Engstrand to do not tell the truth about Regina. Engstrand came in and showed to Pastor Manders that he hold the prayer meeting in the orphanage. Pastor Manders asked him and Engstrand convinced him that it was only to save the reputation of Johanna. Engstrand and the Pastor went, then, Mrs. Alving went to talk with his son. Oswald was drinking. Mrs. Alving wanted to tell the truth about his father. She told her about the illness which he suffered. A doctor in Paris said that the sins of the father flow on the children. She continued to complain about the bleak misery and hypocrisy of Norway, in contrast with the joy of life. Mrs. Alving told the truth to Oswald Alving and Regina, but then they saw that the orphanage had been burned.

Engstrand and Pastor returned home, announced that the orphanage burned. Engstrand convinced Pastor that there would be a public scandal and he blamed the Pastor to let the prayer candles fire. Finally, Mrs. Alving told Oswald and Regina about the truth of their father. Regina was cheated and went to claim the part of her inheritance. Oswald relieved to his mother that he was ill beyond expectations. He showed some morphine pills and asked her to take care him. When the sun came up, he melted into his seat and started mumble nonsense. Mrs. Alving desperately looked for the pill, after seemingly lost all hope to her son or anyone else.

"Ghost" Drama By Henrik Ibsen


Friday, 10 January 2014

Au Dessus De La Tour Eiffel (Up Above the Eiffel Tower)


Novel ini berkisah tentang jalinan persahabatan antara Adelfo dan Abbey yang begitu erat sampai beralih menjadi cinta. Akankah keduanya mampu untuk menerima ikatan itu?
Nihh cerita selengkapnya à
Berawal dari pertemuan keduanya seperti kebetulan yang sangat manis, Adelfo dan Abbey menjalin hubungan persahabatan. Adelfo ini adalah seorang raja sebuah negara kecil di perbatasan Jerman Timur dan Polandia. Sementara, Abbey adalah gadis yatim piatu di Negara tersebut.
Meskipun Adelfo ini adalah seorang raja, posisinya sebagai pemimpin Negara memungkinkan dan mengharuskannya untuk menempuh pendidikan yang lebih baik daripada sekolah rumahan. Ketika Adelfo melanjutkan pendidikan formalnya di Prancis selama empat tahun, dia berpisah dengan Abbey untuk sementara dan dia hanya pernah sekali pulang ke kampung halaman ketika pernikahan kakaknya di musim semi tahun pertamanya. Selama Aldefo bersekolah, posisinya diwakilkan oleh Ivan, mantan penasihatnya yang juga sekaligus mantan tukang kebunnya yang mengundurkan diri karena ingin menikahi biarawati. Ia juga kebetulan merupakan kakak lain ayah bagi sang raja. Sebagian besar hari-harinya Adelfo dihabiskan dengan belajar. Tentu saja belajar politik, budaya dan etika, kesehatan dan medis, ilmu pengetahuan alam dan teknologi. 
Sejak Adelfo di Prancis, dia selalu mengirim surat kepada gadis kecil sahabatnya yang sangat ia sayangi untuk berkomunikasi. Meski Abbey sangat sedih dan rindu, dia tetap membimbing Adelfo dengan lemah lembut dari jarak jauh. Abbey mengirimkan setiap titik cinta dan perhatian yang bisa ia curahkan melalui surat-surat dan kue kering yang diantarkan kurir istana yang khusus setiap harinya mengantar-jemput surat-surat gadis itu beserta kirimannya. Ketika Abbey berulang tahun yang kelima belas tahun, Adelfo tidak bisa pulang. Dia hanya bisa memberikan hadiah sebuah tempat minum. Ivan juga menanamkan petak-petak bunga di taman gereja untuk Abbey. Sementara, istrinya, Evelyn Roberta Forbes (mantan biarawati di gereja Abbey) juga membuatkan kue paling enak yang pernah dicicipinya yaitu krim vanilla dan sirup raspberry diantara kue spons rasa cokelat yang empuk dan ringan.
Hari-hari itu akan dikemas dengan baik, tanpa terlewat sedikit pun detailnya. Betapa Adelfo sangat mencintai rasa gusar ketika tidak sabar lagi menerima kiriman surat dari gadis mungil itu. Adelfo berharap mempunyai keinginan untuk membawa Abbey berjalan-jalan di Prancis bersamanya. Sebelum Adelfo pergi, keduanya memasukkan surat-surat pendek yang mereka kirimkan lewat merpati pos. Cerita yang dibuatkan oleh Adelfo untuk menghibur Abbey adalah cerita tentang Alice di Negeri Ajaib dan berbagai benda kecil yang mengingatkan mereka akan waktu yang mereka lalui bersama. Semua itu dimasukkan ke dalam sebuah kaleng bekas biskuit yang mereka timbun di pantai serta di tandai dengan kerang besar dan bendera kecil bewarna kuning yang bertuliskan: MILIK NEGARA, JANGAN DIGALI. Mereka juga memasangi sekelilingnya dengan selotip kuning di pancang-pancang yang di pasang di sekelilingnya. Mereka juga tidak lupa berpesan kepada anak-anak gereja dan anak-anak yang tinggal di sekitar pantai untuk menjaganya. Kaleng ini, sesuai dengan perjanjian mereka jika mereka akan membukanya ketika mereka berjumpa lagi setelah pendidikan formal Adelfo selesai.
Abbey yang dibesarkan dalam ajaran untuk sangat bersabar dengan lapang dada mencoba menenangkan dirinya dan Adelfo yang lebih kekanak-kanakan. Namun, ia tidak bisa menyangkal betapa inginnya ia bertemu dengan Adelfo secepatnya di pantai itu dengan seragam sekolahnya yang seperti seragam jenderal itu.
Ringkasan
Cinta itu memiliki kekuatan maha dahsyat. Sesuatu yang tidak mungkin bisa menjadi mungkin. Salah satu kesakralan cinta itu, ia tidak pernah memandang kasta. Garisan cinta itu sudah ditentukan yang maha kuasa.  Kerena cinta itu memiliki kekuatan, maka dua hati dengan latar belakang budaya dan karakter yang beragam bisa menyatu. Energi cinta dengan voltase tinggi itu terlihat dari kisah cinta Adelfo dan Abbey dalam novel ini. Balutan cinta-kasih dua anak manusia ini mengingatkan otak terhadap sejumlah kisah cinta tokoh dunia.    Kisah cinta dalam sejarahnya memiliki catatan tersendiri. Cinta yang mengharu biru tersebut disertai dengan catatan pilu, suka dan duka. Para pelaku cinta-kasih tersebut menjalaninya dengan lapang dada. Tidak ada keluh diantara mereka berdua. Karena hambatan dalam menggapai posisi cinta itu harus dilalui dengan perjuangan panjang. Dari sekian catatan itu, terkadang cinta menarik-ulur sampai menuju lorong kematian. Detik-detik menegangkan, hanya untuk sebuah cinta.  
             Adelfo dan Abbey, dalam novel setebal 243 halaman ini sebentuk manuskrip perjalanan cinta dengan sejuta hambatan. Sebab, pada mulanya mereka tidak pernah bercita-cita, rasa yang ada di hati akan menjadi gelora cinta. Rasa itu, pada diri Adelfo dan Abbey hanya sebatas pertemanan. Rasa yang hinggap, hanya karena kedekatan mereka sebagai sesama teman, sahabat dalam satu sekolah. Namun, lagi-lagi kesakralan cinta bisa mengubah segalanya. Rasa pertemanan itu mengajak mereka mengikatnya sebagai sepasang kekasih.  
            Perjalanan cinta kedua remaja ini tidak sedatar yang kita bayangkan. Seorang Adelfo, yang masih berdarah biru sulit ditembus rasa cinta Abbey, keturunan orang biasa. Meski hati mereka menyatakan tiada perbedaan dalam membagun cinta kasih, namun kodrat budaya sulit dimentahkan begitu saja. Abbey menyadari kondisi dirinya. Sehingga, saat pertama kali Adelfo menyatakan rasa cintanya, Abbey menolak. Penolakan itu bukan berarti dia tidak sayang Adelfo. Tetapi, karena cinta yang ada dalam diri Abbey sudah mendarah daging. Cinta adalah berkorban. Abbey rela mengorbannya perasaannya demi untuk menjaga citra sanga Pengeran, Adelfo.
  
Ditolak oleh orang yang dicintai, Adelfo tidak kalut. Dia menyadari, penolakan itu adalah bagian dari cintanya. Dia menahan diri. Sampai akhirnya, ketinggian menara Eifell kota Paris Prancis menjadi saksi penting ikata cintanya. Di kota itulah, saat kedua sejoli ini sama-sama melanjutkan pendidikan bisa lebih memahami perbedaan yang dimiliki. Abbey menolak ka
rena merasa cinta kepada Adelfo. Dan Adelfo bersikukuh mendapatkan hati kekasihnya, karena cinta tak pernah memandag kasta.    Perjuangan kuat dan panjang Adelfo dan Abbey ini berbuah manis. Adelfo bisa mendapatkan cinta kekasihnya. Demikian sebaliknya, Abbey merasa nyaman dengan kehadiran Adelfo dalam hidupnya. Pada akhirnya, mereka bisa menikmati keindahan kota Paris dengan perasaan cinta sepasang kekasih.

Je t’aime, Abbey!! ♥ (di bawah La tour Eiffel)
# ẄǺǟẅ…TresRomantiques