Friday, 15 November 2013

Kritik Drama A Doll’s House by Henrik Ibsen


Drama a doll’s house adalah salah satu drama yang paling terkenal diseluruh dunia dan dianggap paling menuai kontroversi. Drama ini ditulis pada tahun 1879 dan dikenal di Indonesia dengan judul “Rumah Boneka”. A doll’s house menyajikan kritik tak henti-hentinya tentang masyarakat, kemunafikan, ketidaksetaraan dalam hubungan berdasarkan gender, manipulasi, dan banyak pertanyaan dasar tentang nilai-nilai social. Kritik ibsen masih relevan dengan realita di Indonesia saat ini. Pengalaman Nora sehari-hari dalam pernikahannya adalah pengalaman yang dialami seluruh perempuan di Indonesia dalam berbagai bentuk dan tingkat.
Drama ini bisa dianalisis dengan menggunakan pendekatan teori feminism yang dipelopori oleh Charles Fourier pada tahun 1837. Feminism ini merupakan gerakan yang menyuarakan ketidakadilan dan ketidaksetaraan peran antara laki-laki dan perempuan. Yang memicu adanya gerakan feminism adalah adanya penekanan pada wanita dan tradisi yang menjadikan wanita sebagai pihak yang dikalahkan. Teori feminism dimaksudkan untuk memahami ketidaksetaraan dan difokuskan pada politik, gender, hubungan kekuasaan, dan seksualitas.
Pendekatan feminism ini terjadi pada tokoh utama yaitu Nora. Dia digambarkan sebagai wanita yang mandiri dan bisa mengambil keputusan untuk mencari jati dirinya dengan meninggalkan suami dan anak-anaknya demi mencari apa yang ia inginkan. Sebagai seorang wanita harusnya diperlakukan sejajar dengan kedudukan laki-laki. Nora merasa hidupnya seperti pengemis dirumah suaminya dan dia mengatakan bahwa suaminya itu egois. Dia berpikir bahwa suaminya tidak mencintainya tapi semata-mata karena kepuasan jatuh cinta kepadanya. Dalam hidupnya, Nora dikekang kebebasannya oleh ayahnya dan suaminya. Nora dianggap oleh mereka sebagai boneka mainan.


Tokoh utama ini didukung oleh gerakan feminisme karena feminisme selalu menganjurkan perempuan untuk mengembangkan dirinya terlebih dahulu sebelum menikah. Wanita diperbolehkan untuk mencari ilmu setinggi-tingginya mungkin agar mampu mandiri tanpa harus menggantungkan hidupnya pada orang lain dan sanggup mencapai kedudukan yang setingkat dengan kedudukan laki-laki dalam masyarakat.

No comments:

Post a Comment